Kuliner Katrok dari Ibu Kota Nusantara yang Tetap Disegani Tajinya
Mar 5, 2013
Loading...
Jangan juga cari kata itu di kamus bahasa daerah asal
Indonesia. Percuma juga! Apalagi buka-buka kamus bahasa internasional. Sia-sia
saja! Pasti tak akan ketemu juga.Istilah katrok kali pertama keluar dari mulut Tukul Arwana, salah satu
aktor dalam film Otomatis Romantis,
komedian, penyanyi sekaligus pembawa acara (presenter).
Kepopuleran komedian jebolan Sri Mulat asal Jawa Tengah ini
meledak ketika menjadi pembawa acara sebuah talk
show bertajuk "Empat Mata" di salah satu stasiun televisi
nasional. Belakangan, talk show itu
berubah tajuk menjadi "(Bukan) Empat Mata", setelah kena sentil dari
otoritas program acara televisi nasional.
Nah, lewat program itulah Tukul Arwana ini melontarkan diksi
"katrok" untuk
mendeskripsikan hal-hal yang berasal dari kampung atau desa alias kampungan.
Mungkin, lantaran cara dia melontarkan diksi katrok yang terdengar begitu renyah, itu
membuat publik lantas menirunya. Dan, akhirnya ikut-ikutan memakai istilah katrok guna mendeskripsikan hal-hal yang
dianggap kampungan.
Mengikuti kepopuleran pria yang kerap menyebut dirinya
Renaldi ini, kata katrok itu lahir di
Jakarta, Ibu Kota Nusantara. Sejak saat itu, masyarakat Indonesia sepertinya
lebih suka memakai istilah katrok
ketimbang kampungan untuk mendeskripsikan hal-hal yang dianggap kampungan.
Bagi sebagian masyarakat Indonesia, hal-hal yang dianggap
kampungan dinilai rendah. Alasannya, kampungan mencerminkan keterbelakangan
atau hal-hal yang berada di luar koridor perkembangan informasi dan teknologi.
Lebih parah lagi, ada juga sebagian masyarakat yang mengidentikkan katrok dengan warisan budaya dan tradisi
nenek moyang.
Sampai-sampai ke ranah kuliner khas daerah, pun tak luput
dari jerat klaim katrok. Sebut saja
getuk, dodol, botok atau sambal tumpang. Sejumlah sajian kuliner warisan nenek
moyang itu sering kali dianggap kampungan, ditandai dengan masuknya beragam
kuliner mancanegara yang dipoles dengan unsur-unsur modern.
Maka, tak heran pula bila sebagian masyarakat kerap kali
menggunakan menu kuliner mancanegara sebagai simbol-simbol modernisasi.
Walhasil, sejumlah sajian kuliner asing, seperti burger, pizza, salad dan
steak, seakan-akan telah menenggelamkan pamor kuliner warisan nusantaran yang
notabene dipoles apa adanya.
Jakarta yang notabene adalah simbol kota modern dan selalu
meng-upgrade sisi-sisi kekinian,
segala macam yang ada di dalamnya, tak lantas luput dari jerat klaim katrok.
Sewajarnya sebuah kota, pastilah memiliki sejarah yang
menyelimutinya. Dari sejarah itulah dapat diketahui tradisi maupun budayanya,
baik dalam wujud sosial kemasyarakatan, seni maupun kuliner.
Sementara, si empunya Jakarta adalah suku Betawi. Masyarakat
suku inilah yang asli berasal dari ranah Ibu Kota Nusantara. Jadi, tak
belebihan juga bila mereka mengklaim bahwa Jakarta adalah milik mereka, meski pada
kenyataannya, bukankah Jakarta adalah milik seluruh Warga Negara Indonesia
sejak para pendiri bangsa ini bersepakat membentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia?
Hal itu tak perlu diperdebatkan. Yang jelas, kendati Jakarta
adalah barometer modernisasi nusantara, namun beberapa sisi tradisi tetap saja
tak luput dari klaim katrok. Sebut saja sajian kuliner khas Betawi, seperti
semur jengkol dan soto betawi. Pamornya terus saja tergerus sajian kuliner
asing yang masif-dipoles dengan unsur-unsur modern.
Maka, tak heran juga jika sajian kuliner warisan nenek
moyang orang-orang Betawi masa kini itu, hanya segelintir saja yang mampu
bersaing di jantung perekonomian kota. Pamornya larut karena masifnya gempuran
para pemilik modal memoles sajian kuliner asing. Sajian kuliner asing lebih
ngetren di jantung perekonomian kota ketimbang menu katrok dari Ibu Kota Nusantara.
Kendati demikian, sajian kuliner katrok dari Ibu Kota Nusantara itu rupanya masih disegani tajinya
di tempat-tempat tertentu. Tengok saja di Jalan Padang Panjang No 6C,
Manggarai, Jakarta Selatan. Di situ ada sebuah warung berlabel Soto Betawi Asli Haji Husen.
Taji soto betawi di warung itu begitu kentara. Bagaimana
tidak, orang harus rela antre untuk mencicipi seporsi soto betawi.
Lain dengan soto khas Jawa, kuah soto betawi terasa begitu
gurih dan punya tekstur agak kental. Itu karena di dalam kuahnya, selain sarat
kaldu daging, juga ditambah dengan susu segar atau santan. Di samping itu, kuah
soto betawi juga sarat rempah. Di antaranya, jahe, lengkuas, merica, ketumbar,
jintan dan kayu manis.
Kuliner khas betawi lainnya adalah semur jengkol. Meski menu
kiliner ini kontrovesial, lantaran banyak yang suka, tapi tak sedikit pula yang
menghindarinya. Namun, di Jalan Ampera Raya No 7, Jakarta Selatan, taji Semur Jengkol Betawi tetap disegani.
Adalah Warung Hj
Khadijah yang menyajikan semur jengkol itu. Sejak tahun 1985, banyak orang
yang rela antre untuk bisa melahab olahan semur jengkoh Hj Khadijah.
Bila tertarik membuktikan taji kedua menu kiliner katrok dari betawi itu, silakan isi
agenda wisata kuliner Anda ke kedua distrik kuliner tersebut.
Loading...
loading...