Kuliner Katrok dari Ibu Kota Nusantara yang Tetap Disegani Tajinya


Loading...
Jangan juga cari kata itu di kamus bahasa daerah asal Indonesia. Percuma juga! Apalagi buka-buka kamus bahasa internasional. Sia-sia saja! Pasti tak akan ketemu juga.Istilah katrok kali pertama keluar dari mulut Tukul Arwana, salah satu aktor dalam film Otomatis Romantis, komedian, penyanyi sekaligus pembawa acara (presenter).

Kepopuleran komedian jebolan Sri Mulat asal Jawa Tengah ini meledak ketika menjadi pembawa acara sebuah talk show bertajuk "Empat Mata" di salah satu stasiun televisi nasional. Belakangan, talk show itu berubah tajuk menjadi "(Bukan) Empat Mata", setelah kena sentil dari otoritas program acara televisi nasional.

Nah, lewat program itulah Tukul Arwana ini melontarkan diksi "katrok" untuk mendeskripsikan hal-hal yang berasal dari kampung atau desa alias kampungan.

Mungkin, lantaran cara dia melontarkan diksi katrok yang terdengar begitu renyah, itu membuat publik lantas menirunya. Dan, akhirnya ikut-ikutan memakai istilah katrok guna mendeskripsikan hal-hal yang dianggap kampungan.

Mengikuti kepopuleran pria yang kerap menyebut dirinya Renaldi ini, kata katrok itu lahir di Jakarta, Ibu Kota Nusantara. Sejak saat itu, masyarakat Indonesia sepertinya lebih suka memakai istilah katrok ketimbang kampungan untuk mendeskripsikan hal-hal yang dianggap kampungan.

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, hal-hal yang dianggap kampungan dinilai rendah. Alasannya, kampungan mencerminkan keterbelakangan atau hal-hal yang berada di luar koridor perkembangan informasi dan teknologi. Lebih parah lagi, ada juga sebagian masyarakat yang mengidentikkan katrok dengan warisan budaya dan tradisi nenek moyang.

Sampai-sampai ke ranah kuliner khas daerah, pun tak luput dari jerat klaim katrok. Sebut saja getuk, dodol, botok atau sambal tumpang. Sejumlah sajian kuliner warisan nenek moyang itu sering kali dianggap kampungan, ditandai dengan masuknya beragam kuliner mancanegara yang dipoles dengan unsur-unsur modern.

Maka, tak heran pula bila sebagian masyarakat kerap kali menggunakan menu kuliner mancanegara sebagai simbol-simbol modernisasi. Walhasil, sejumlah sajian kuliner asing, seperti burger, pizza, salad dan steak, seakan-akan telah menenggelamkan pamor kuliner warisan nusantaran yang notabene dipoles apa adanya.

Jakarta yang notabene adalah simbol kota modern dan selalu meng-upgrade sisi-sisi kekinian, segala macam yang ada di dalamnya, tak lantas luput dari jerat klaim katrok.

Sewajarnya sebuah kota, pastilah memiliki sejarah yang menyelimutinya. Dari sejarah itulah dapat diketahui tradisi maupun budayanya, baik dalam wujud sosial kemasyarakatan, seni maupun kuliner.

Sementara, si empunya Jakarta adalah suku Betawi. Masyarakat suku inilah yang asli berasal dari ranah Ibu Kota Nusantara. Jadi, tak belebihan juga bila mereka mengklaim bahwa Jakarta adalah milik mereka, meski pada kenyataannya, bukankah Jakarta adalah milik seluruh Warga Negara Indonesia sejak para pendiri bangsa ini bersepakat membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Hal itu tak perlu diperdebatkan. Yang jelas, kendati Jakarta adalah barometer modernisasi nusantara, namun beberapa sisi tradisi tetap saja tak luput dari klaim katrok. Sebut saja sajian kuliner khas Betawi, seperti semur jengkol dan soto betawi. Pamornya terus saja tergerus sajian kuliner asing yang masif-dipoles dengan unsur-unsur modern.

Maka, tak heran juga jika sajian kuliner warisan nenek moyang orang-orang Betawi masa kini itu, hanya segelintir saja yang mampu bersaing di jantung perekonomian kota. Pamornya larut karena masifnya gempuran para pemilik modal memoles sajian kuliner asing. Sajian kuliner asing lebih ngetren di jantung perekonomian kota ketimbang menu katrok dari Ibu Kota Nusantara.

Kendati demikian, sajian kuliner katrok dari Ibu Kota Nusantara itu rupanya masih disegani tajinya di tempat-tempat tertentu. Tengok saja di Jalan Padang Panjang No 6C, Manggarai, Jakarta Selatan. Di situ ada sebuah warung berlabel Soto Betawi Asli Haji Husen.

Taji soto betawi di warung itu begitu kentara. Bagaimana tidak, orang harus rela antre untuk mencicipi seporsi soto betawi.

Lain dengan soto khas Jawa, kuah soto betawi terasa begitu gurih dan punya tekstur agak kental. Itu karena di dalam kuahnya, selain sarat kaldu daging, juga ditambah dengan susu segar atau santan. Di samping itu, kuah soto betawi juga sarat rempah. Di antaranya, jahe, lengkuas, merica, ketumbar, jintan dan kayu manis.

Kuliner khas betawi lainnya adalah semur jengkol. Meski menu kiliner ini kontrovesial, lantaran banyak yang suka, tapi tak sedikit pula yang menghindarinya. Namun, di Jalan Ampera Raya No 7, Jakarta Selatan, taji Semur Jengkol Betawi tetap disegani.

Adalah Warung Hj Khadijah yang menyajikan semur jengkol itu. Sejak tahun 1985, banyak orang yang rela antre untuk bisa melahab olahan semur jengkoh Hj Khadijah.

Bila tertarik membuktikan taji kedua menu kiliner katrok dari betawi itu, silakan isi agenda wisata kuliner Anda ke kedua distrik kuliner tersebut.
Loading...

loading...

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel