Teror Belatung dan Kapas Berdarah yang Menghantui Kendal
Apr 23, 2019
Add Comment
Loading...
Pada suatu hari, seperti biasa, Mbok Mirah bersenandung menyusuri jalan setapak yang membelah hamparan sawah sembari membawa pikulan. Isinya adalah tape (panganan yang terbuat dari singkong dan atau beras ketan yang difermentasi). Tape itu sedianya hendak dijual di Pasar Kendal.
Setiap hari, Mbok Mirah yang bertubuh pendek ini harus menyusuri rute tersebut. Maklum, kala itu angkutan umum di wilayah Kendal belum seramai sekarang.
Memang sich sudah ada jalan raya utama menuju pasar. Tapi, jalan setapak tak berperang lampu itulah jalan pintas menuju tempat tujuannya. Sambil berjalan sedikit membungkuk karena beban berat pada pundaknya, praktis Mbok Mirah hanya mengandalkan cahaya bulan sebagai penerangan langkah kakinya menyusuri jalan pintas itu.
Aktivitas tersebut sudah biasa ia lakukan setiap pagi buta. Pasalnya, sebelum Subuh, Mbok Mirah harus sudah berada di pasar. Dengan begitu, peluang untuk menghabiskan dagangannya bertambah besar.
Meski gelap dan sepi, tapi Mbok Mirah tak pernah takut. Selain karena sudah terbiasa dan musti memenuhi kebutuhan sehari-hari, toh selama ini tak pernah ada kejadian aneh menimpanya.
Namun, hari itu bukanlah seperti hari-hari yang biasa Mbok Mirah lalui. Udara terasa lebih dingin dari biasanya.
Dari jarak sepelemparan batu, samar-samar, karena terhalang kabut, dia melihat sosok wanita berpakaian serba putih berdiri di tepi jalan setapak sambil melambaikan tangan. Walau sedikit was-was, namun Mbok Mirah berusaha untuk tak menghiraukannya.
Beberapa langkah kemudian, sosok wanita tadi memanggil-manggil.
"Tumbas tape-ne, Mbok... (Beli tapenya, Mbok...)."
Mendengar itu, Mbok Mirah lantas bergegas menghampiri dan mulai menurunkan pikulannya.
"Ajeng tumbas tape, Mbak? (Mau beli tape, Mbak?," sahut Mbok Mirah memastikan.
"Injeh... tumbas sekawandasa (40) mawon (Iya, beli empat puluh saja)," jawab wanita tadi lirih.
Sambil mengambil tape di dalam bakul dan mengemasnya dengan daun pisang, Mbok Mirah pun mencoba untuk bersikap ramah dan akrab dengan pembeli. Basa-basi dia bertanya, "Tinggal wonten pundi, Mbak? (Tinggal di mana, Mbak?)"
"Mriku...," sambil mengarahkan tangannya ke seberang hamparan sawah.
Lho, seberang sawah itu kan kuburan umum, katanya dalam hati. Ah, mungkin saja dia salah tunjuk arah, batinnya.
"Dereng Subuh kok sampun dugi mriki?" tanya Mbok Mirah yang belum juga selesai membungkus tape sambil duduk di atas kedua kakinya yang dilipat.
"Injeh, pengen maem tape. Bibar niki langsung wangsul... (Iya, mau makan tape. Setalah ini langsung pulang)," jawabnya.
"Paring asma sinten, Mbak? Namanya siapa, Mbak?" tanya Mbok Mirah lagi.
"Asma kulo Ti Ren Puk Nyar, Mbok.... (Nama saya Ti Ren Puk Nyar, Mbok...)," jawab sosok wanita itu.
Sontak bulu kuduk Mbok Mirah langsung berdiri, "Jangan-jangan...," ucapnya dalam hati.
"MaTi kemaRen, kaPuk-e tasih aNyar," lanjut wanita misterius itu.
Benar saja dugaan Mbok Mirah. Saat mendongak, dia melihat muka wanita itu pucat dengan kapas berlumuran darah yang disumbat di dalam lubang hidung dan mata. Penampakan itu semakin menyeramkan karena sosoknya terbungkus kain kafan yang dipocong.
Kontan saja, Mbok Mirah lari tunggang-langgang sembari berteriak-teriak minta tolong tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Pikulan yang masih penuh dengan tape dia tinggalkan begitu saja.
Yang dia khawatirkan hanyalah keselamatan dirinya dari sosok yang sangat menyeramkan tadi. Mbok Mirah lari tersengal-sengal menuju perkampungan warga.
Beruntung, ada wanita muda yang saat itu tengah menyapu di teras depan rumah. Masih tersengal dan keringat bercucuran, Mbok Mirah minta izin kepada wanita tersebut untuk istirahat dan minta segelas air. Wanita muda bernama Hesti itu lantas mempersilakan Mbok Mirah duduk di teras dan mengambilkan segelas air.
Setalah menyodorkan air minum, Hesti lantas bertanya apa gerangan yang menimpa Mbok Mirah hingga terlihat sangat ketakutan seperti itu. Mbok Mirah lalu menceritakan semua kejadian yang sangat menyeramkan yang baru saja ia alami tadi.
"Lajeng, tape dagangan Mbok, wonten pundi? (Lalu tape dagangan Mbok, ada di mana?)" tanya Hesti.
"Nggeh kulo tilar, Mbak... (Ya saya tinggal, Mbak...)" ujar Mbok Mirah sambil menata nafasnya.
"Sak umur-umur, nggeh nembe niki kulo diweruhi setan. Rupane medeni banget. (Seumur-umur, ya baru ini dilihatin setan. Wajahnya sangat menyeramkan.)" ujar Mbok Mirah yang masih terlihat sangat ketakutan.
Beberapa saat kemudian, dia meminta Hesti untuk menemaninya mengambil tape dagangan yang ditinggalkan di area persawahan tadi. Hesti menyanggupinya, dan menyarankan agar menunggu hari terang. Pasalnya, Hesti sendiri juga takut kalau harus pergi ke sana seketika itu juga, sementara hari masih Subuh.
Sekitar jam 9 pagi, dengan mengendarai motor, dua orang itu lantas pergi ke tempat kejadian. Mulai masuk jalan setapak yang membelah persawahan, dari kejauhan, Mbok Mirah yang membonceng sudah bisa melihat keranjang tapenya yang tergelimpang.
Keduanya lantas turun dan mencoba menyelamatkan tape yang mungkin masih bisa dijual. Setelah membalikkan keranjang, keduanya terkejut dan merinding ketakutan. Pasalnya, isinya bukan tape lagi, melainkan belatung dan tumpukan kapas yang bersimbah darah dan menebarkan bau anyir.
Rupanya, bukan cuma Mbok Mirah saja yang menjadi korban hantu Ti Ren Puk Nyar. Masih ada sejumlah warga Kendal yang juga dijahili oleh hantu perempuan tersebut.
Usut punya usut, hantu itu adalah arwah penasaran dari seorang wanita yang bunuh diri lantaran dikhianati kekasihnya. Mayatnya di kubur dan tali pocongnya lupa dilepas. Ada juga kabar yang beredar yang menyebutkan bahwa hantu itu adalah korban tabrak lari.
Entah yang benar yang mana, semoga kita selalu dijauhkan dari hal-hal yang menyeramkan seperti itu.
Mengetahui kisah nyata menyeramkan yang dialami Mbok Mirah ini jadi keinget film Suzanna. Ada sebuah frame di mana hantu Sundel Boleng yang diperankan Suzzana mengganggu penjual sate. Ternyata, kejadian serupa itu di alam nyata memang benar-benar terjadi.
Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari kisah nyata seram kali ini.
Semoga kita senantiasa ingat dan selalu meminta perlindungan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Aamiin.
Setiap hari, Mbok Mirah yang bertubuh pendek ini harus menyusuri rute tersebut. Maklum, kala itu angkutan umum di wilayah Kendal belum seramai sekarang.
Memang sich sudah ada jalan raya utama menuju pasar. Tapi, jalan setapak tak berperang lampu itulah jalan pintas menuju tempat tujuannya. Sambil berjalan sedikit membungkuk karena beban berat pada pundaknya, praktis Mbok Mirah hanya mengandalkan cahaya bulan sebagai penerangan langkah kakinya menyusuri jalan pintas itu.
Aktivitas tersebut sudah biasa ia lakukan setiap pagi buta. Pasalnya, sebelum Subuh, Mbok Mirah harus sudah berada di pasar. Dengan begitu, peluang untuk menghabiskan dagangannya bertambah besar.
Meski gelap dan sepi, tapi Mbok Mirah tak pernah takut. Selain karena sudah terbiasa dan musti memenuhi kebutuhan sehari-hari, toh selama ini tak pernah ada kejadian aneh menimpanya.
Namun, hari itu bukanlah seperti hari-hari yang biasa Mbok Mirah lalui. Udara terasa lebih dingin dari biasanya.
Dari jarak sepelemparan batu, samar-samar, karena terhalang kabut, dia melihat sosok wanita berpakaian serba putih berdiri di tepi jalan setapak sambil melambaikan tangan. Walau sedikit was-was, namun Mbok Mirah berusaha untuk tak menghiraukannya.
Beberapa langkah kemudian, sosok wanita tadi memanggil-manggil.
"Tumbas tape-ne, Mbok... (Beli tapenya, Mbok...)."
Mendengar itu, Mbok Mirah lantas bergegas menghampiri dan mulai menurunkan pikulannya.
"Ajeng tumbas tape, Mbak? (Mau beli tape, Mbak?," sahut Mbok Mirah memastikan.
"Injeh... tumbas sekawandasa (40) mawon (Iya, beli empat puluh saja)," jawab wanita tadi lirih.
Sambil mengambil tape di dalam bakul dan mengemasnya dengan daun pisang, Mbok Mirah pun mencoba untuk bersikap ramah dan akrab dengan pembeli. Basa-basi dia bertanya, "Tinggal wonten pundi, Mbak? (Tinggal di mana, Mbak?)"
"Mriku...," sambil mengarahkan tangannya ke seberang hamparan sawah.
Lho, seberang sawah itu kan kuburan umum, katanya dalam hati. Ah, mungkin saja dia salah tunjuk arah, batinnya.
"Dereng Subuh kok sampun dugi mriki?" tanya Mbok Mirah yang belum juga selesai membungkus tape sambil duduk di atas kedua kakinya yang dilipat.
"Injeh, pengen maem tape. Bibar niki langsung wangsul... (Iya, mau makan tape. Setalah ini langsung pulang)," jawabnya.
"Paring asma sinten, Mbak? Namanya siapa, Mbak?" tanya Mbok Mirah lagi.
"Asma kulo Ti Ren Puk Nyar, Mbok.... (Nama saya Ti Ren Puk Nyar, Mbok...)," jawab sosok wanita itu.
Sontak bulu kuduk Mbok Mirah langsung berdiri, "Jangan-jangan...," ucapnya dalam hati.
"MaTi kemaRen, kaPuk-e tasih aNyar," lanjut wanita misterius itu.
Benar saja dugaan Mbok Mirah. Saat mendongak, dia melihat muka wanita itu pucat dengan kapas berlumuran darah yang disumbat di dalam lubang hidung dan mata. Penampakan itu semakin menyeramkan karena sosoknya terbungkus kain kafan yang dipocong.
Kontan saja, Mbok Mirah lari tunggang-langgang sembari berteriak-teriak minta tolong tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Pikulan yang masih penuh dengan tape dia tinggalkan begitu saja.
Yang dia khawatirkan hanyalah keselamatan dirinya dari sosok yang sangat menyeramkan tadi. Mbok Mirah lari tersengal-sengal menuju perkampungan warga.
Beruntung, ada wanita muda yang saat itu tengah menyapu di teras depan rumah. Masih tersengal dan keringat bercucuran, Mbok Mirah minta izin kepada wanita tersebut untuk istirahat dan minta segelas air. Wanita muda bernama Hesti itu lantas mempersilakan Mbok Mirah duduk di teras dan mengambilkan segelas air.
Setalah menyodorkan air minum, Hesti lantas bertanya apa gerangan yang menimpa Mbok Mirah hingga terlihat sangat ketakutan seperti itu. Mbok Mirah lalu menceritakan semua kejadian yang sangat menyeramkan yang baru saja ia alami tadi.
"Lajeng, tape dagangan Mbok, wonten pundi? (Lalu tape dagangan Mbok, ada di mana?)" tanya Hesti.
"Nggeh kulo tilar, Mbak... (Ya saya tinggal, Mbak...)" ujar Mbok Mirah sambil menata nafasnya.
"Sak umur-umur, nggeh nembe niki kulo diweruhi setan. Rupane medeni banget. (Seumur-umur, ya baru ini dilihatin setan. Wajahnya sangat menyeramkan.)" ujar Mbok Mirah yang masih terlihat sangat ketakutan.
Beberapa saat kemudian, dia meminta Hesti untuk menemaninya mengambil tape dagangan yang ditinggalkan di area persawahan tadi. Hesti menyanggupinya, dan menyarankan agar menunggu hari terang. Pasalnya, Hesti sendiri juga takut kalau harus pergi ke sana seketika itu juga, sementara hari masih Subuh.
Sekitar jam 9 pagi, dengan mengendarai motor, dua orang itu lantas pergi ke tempat kejadian. Mulai masuk jalan setapak yang membelah persawahan, dari kejauhan, Mbok Mirah yang membonceng sudah bisa melihat keranjang tapenya yang tergelimpang.
Keduanya lantas turun dan mencoba menyelamatkan tape yang mungkin masih bisa dijual. Setelah membalikkan keranjang, keduanya terkejut dan merinding ketakutan. Pasalnya, isinya bukan tape lagi, melainkan belatung dan tumpukan kapas yang bersimbah darah dan menebarkan bau anyir.
Rupanya, bukan cuma Mbok Mirah saja yang menjadi korban hantu Ti Ren Puk Nyar. Masih ada sejumlah warga Kendal yang juga dijahili oleh hantu perempuan tersebut.
Usut punya usut, hantu itu adalah arwah penasaran dari seorang wanita yang bunuh diri lantaran dikhianati kekasihnya. Mayatnya di kubur dan tali pocongnya lupa dilepas. Ada juga kabar yang beredar yang menyebutkan bahwa hantu itu adalah korban tabrak lari.
Entah yang benar yang mana, semoga kita selalu dijauhkan dari hal-hal yang menyeramkan seperti itu.
Mengetahui kisah nyata menyeramkan yang dialami Mbok Mirah ini jadi keinget film Suzanna. Ada sebuah frame di mana hantu Sundel Boleng yang diperankan Suzzana mengganggu penjual sate. Ternyata, kejadian serupa itu di alam nyata memang benar-benar terjadi.
Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari kisah nyata seram kali ini.
Semoga kita senantiasa ingat dan selalu meminta perlindungan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Aamiin.
Loading...
loading...
0 Response to "Teror Belatung dan Kapas Berdarah yang Menghantui Kendal"
Post a Comment